Perjalanan ini berawal dari keinginan teman saya, Muhammad Azizi yang ingin mengisi libur akhir pekan dengan mengunjungi tempat-tempat yang menarik tak jauh dari kota Cepu. Awalnya Azizi hanya bertanya tentang lokasi dan jalur menuju tempat tersebut, namun kemudian di mengajak saya ikut serta dalam perjalanannya. Rute pun terencana secara mendadak dan kami menargetkan perjalanan tuntas dalam satu hari menjelajah di beberapa tempat menarik di sisi timur Jawa Tengah.
peta rencana
Sabtu, 20 Desember 2014
Pagi itu kami sepakat untuk berangkat jam 8 pagi dengan menggunakan satu sepeda motor. Saya berpamitan kepada orang tua sesaat setelah Azizi datang menjemput ke rumah. Kami pun berangkat menuju lokasi pertama yaitu Bledug Kuwu yang berada di Kabupaten Grobogan, berjarak sekitar 60 km dari Cepu. Kami memilih untuk melalui jalur alternatif di selatan Kabupaten Blora karena jarak tempuhnya lebih pendek dan lalu lintasnya tak sepadat jalur utama Blora. Meski demikian kami tidak bisa melaju dengan cepat karena kondisi jalan yang bergelombang dan sesekali menjumpai jalan yang rusak.
pertigaan Randublatung
kondisi jalan bergelombang
hamparan sawah yang menyejukkan mata
Lebih dari satu jam kami melewati Kecamatan Kedung Tuban, Randu Blatung dan Doplang, hingga akhirnya kami memasuki Kecamatan Sulur, Kabupaten Grobogan. Sisa 20 km perjalanan menuju Bledug Kuwu terasa lebih lancar karena kondisi jalan yang lumayan bagus. Sekitar pukul 10:00 kami tiba di obyek wisata Bledug Kuwu, kecamatan Kradenan. Untuk memasuki lokasi wisata kami harus membayar karcis Rp2.000,- per orang.
jalan semenisasi yang mulus
kawah Bledug Kuwu terlihat dari sisi jalan
Bledug Kuwu merupakan kawah lumpur yang secara berkala mengeluarkan letupan-letupan lumpur mineral beserta gas metana. Air lumpur yang mengandung garam dimanfaatkan masyarakat setempat untuk membuat garam secara tradisional. Menurut legenda setempat, Bledug Kuwu terjadi karena adanya lubang yang dibuat oleh ular naga jelmaan Joko Linglung ,yang menghubungkan lokasi ini dengan laut selatan. Lubang ini menjadi jalan pulang Joko Linglung dari laut selatan menuju Medang Kamulan setelah mengalahkan Prabu Dewata Cengkar yang telah berubah menjadi buaya putih.
satu sisi gerbang masuk Bledug Kuwu
mendekati pusat letupan kawah
Beberapa bagian kawah lumpur masih basah sehingga jarak antara pengunjung dan pusat letupan kawah dibatasai. Di sini terdapat beberapa pondok yang dapat digunakan pengunjung untuk beristirahat, juga terdapat beberapa pedagang penjual makanan dan minuman ringan di sisi utara kawah. Pengunjung juga dapat melihat keseluruhan hamparan kawah dari menara yang berada di sebelah kiri pintu masuk. Namun kondisi menara kurang terawat dan ada beberapa anak tangga yang sudah lapuk sehingga perlu berhati-hati saat naik ke menara.
papan petunjuk dan jalan di depan Bledug Kuwu
hamparan kawah lumpur dilihat dari menara
Tak sampai 30 menit, kami pun melanjutkan perjalanan untuk menuju lokasi kedua yaitu Museum Manusia Purba Sangiran, di Kabupaten Sragen. Kami menuju pusat kota Purwodadi untuk kemudian berbelok ke selatan menyusuri jalan lintas Purwodadi - Solo. Lalu lintas menuju Purwodadi lumayan ramai karena ini merupakan jalan utama Blora - Semarang, apalagi saat itu bertepatan dengan siswa-siswi yang pulang sekolah seusai penerimaan rapor. Untuk jalur Purwodadi - Solo perjalanan cukup lancar karena kondisi jalan yang lumayan bagus, sesekali kami berpapasan dengan bus antar kota.
Kami mulai menjumpai banyak tikungan setelah melewati persimpangan ke Kedungombo dan memasuki Pegunungan Kendeng. Kami sempatkan berhenti di pinggir untuk istirahat sejenak dan meluruskan badan yang pegal setelah melewati banyak tikungan tadi. Dua gapura bergambarkan gajah dan menusia purba yang terletak di sisi jalan Purwodadi - Solo menandakan bahwa kami tidak jauh lagi dari Museum Sangiran. Kami berbelok ke timur sekitar 4 km dari jalan utama menuju Museum Manusia Purba Sangiran. Pukul 12:15 kami tiba di gerbang museum yang berbentuk gading gajah, dengan jarak tempuh sekitar 85 km dari Bledug Kuwu.
jalan Purwodadi - Solo
gerbang Museum Sangiran
Kami membayar retribusi masuk sebesar Rp5.000,- per orang dan parkir motor sebesar Rp.2.000,-. Museum Sangiran ini berada berdekatan dengan area situs fosil purbakala yang merupakan situs warisan dunia UNESCO yang meliputi kecamatan Gemolong, Kalijambe, Plupuh (Kab.Sragen), serta kecamatan Gondangrejo (Kab.Karanganyar). Selain menjadi obyek wisata, Museum Sangiran juga merupakan tempat penelitian tentang kehidupan pra sejarah di Asia.
berfoto di depan museum
bangunan utama museum
Museum ini terdapat 3 ruang utama yang dapat dikunjungi. Ruang pertama berisi informasi tentang manusia purba dan hewan yang ada di Situs Sangiran. Ruang kedua berisi informasi tentang berbagai fosil dan sejarah eksplorasi di Situs Sangiran. Dan ruangan ketiga menggambarkan wilayah Sangiran pada jaman purba, lengkap dengan manusia dan hewan purda, serta Gunung Lawu sebagai latar belakangnya. Di bagian luar museum terdapat kios-kios penjual souvenir-souveniryang identik dengan Sangiran.
fosil di ruang pertama
gambaran eksplorasi fosil di ruang kedua
gambaran Sangiran purba di ruang ketiga
Di depan museum kami menjumpai 2 orang yang memberikan jasa berfoto bersama ular dangan imbalan seikhlasnya. Saya pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk berfoto, sementara Azizi tidak ikut serta karena merasa geli dengan ular. Hampir satu jam kami berkeliling di dalam museum, kami pun kembali ke jalan utama untuk melanjutkan perjalanan menuju Kota Surakarta (Solo). Tujuan kami selanjutnya adalah Keraton Surakarta dengan jarak tempuh sekitar 27 km dari Sangiran.
foto bersama ular
perjalanan menuju Surakarta
Kami menyusuri jalan lurus yang lumayan padat hingga memasuki Surakarta. Sempat bingung karena banyaknya persimpangan di dalam kota. Ini merupakan kali kedua bagi saya menjelajah ke Surakarta dengan sepeda motor, sebelumnya saya bersepeda motor di akhir tahun 2012. Akhirnya kami tiba di halaman keraton sekitar pukul 13:35, setelah melewati Alun-Alun Lor yang lumayan ramai karena ada pasar Sekaten, memperingati Maulud Nabi Muhammad S.A.W.
gapura Alun-Alun Lor
tembok yang mengelilingi keraton
Kami sempatkan untuk istirahat di sana, kebetulan banyak penjual makanan dan minuman di halaman keraton. Keraton ini merupakan istana dari Kasunanan Surakarta. Hingga kini keraton ini masih berfungsi tempat tinggal sunan dan keluarga yang masih menjalankan tradisi kerajaan. Keraton ini juga berfungsi sebagai museum, di mana wisatawan dapat berkunjung ke dalam keraton untuk melihat benda peninggalan dan koleksi keluarga kerajaan.
istirahat di depan istana
berfoto di depan keraton
Karena cuaca mendung dan berpotensi hujan, kami pun tidak masuk ke dalam museum dan hanya berfoto di depan keraton. Kami segera menuju ke Karanganyar untuk singgah di rumah kawan kami Kurniawan 'Ook' sebelum turun hujan. Lalu lintas dari Surakarta menuju Karanganyar cukup padat dan sempat menjumpai kemacetan di pertigaan Palur, di mana sedang dilakukan pembangunan flyover di lokasi tersebut. Sekitar 17 km kami berkendara kami tiba di rumah Ook di Karanganyar. Ook dan keluarga menyambut kami, dengan segera ibu Ook menyuguhkan jajanan dan minuman.
mendung hitam di atas patung Slamet Riyadi
menyeberangi jembatan Bengawan Solo menuju Karanganyar
hujan gerimis saat menuju Solo
Seusai sholat magribh, kami bersiap untuk menuju Solo menggunakan 2 motor. Di tengah cuaca gerimis, kami perlahan menuju Kota Solo dengan beriringan. Ook yang memboncengkan saya seakan seperti pemandu wisata, bercerita tentang Kota Solo dan menjelaskan bangunan-bangunan yang kami jumpai di perjalanan. Kami singgah di Gramedia, kebetulan Azizi ingin mencari buku bacaan. Saya pun sekalian membeli peta Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat yang selama ini saya cari.
malam minggu mahasiswa di Gramedia
memilih peta
Tak terasa perut sudah mulai lapar. Ook mengajak kami ke Galabo, sebuah tempat kuliner malam di Solo. Galabo singkatan dari Gladag Langen Bogan, berada di depan Pusat Grosir Solo (PGS) sebelah timur bundaran Gladag. Kami mondar-mandir di sana untuk memilih menu makanan yang kebanyakan merupakan makanan tradisional. Menurut Ook suasana Galabo malam itu tak seramai biasanya. Mungkin karena adanya pasar Sekaten di Alun-Alun Lor yang tak jauh dari Galabo.
makan malam di Galabo
sate buntel pesanan Ook
Karena hari semakin malam, kami pun langsung pulang ke rumah Ook seusai makan di Galabo sekaligus istirahat mempersiapkan diri untuk perjalanan esok hari.
BERSAMBUNG....
Catatan perjalanan yang rapi dan sangat mengisnpirasi lanjutkan saudaraku (y)
BalasHapus