Sabtu, 10 Januari 2015

Menyusuri Sejarah Di Kota Surabaya #1

Sabtu, 10 Januari 2015
    Libur akhir pekan kali ini saya manfaatkan untuk menjelajah di ibu kota Provinsi Jawa Timur, Kota Surabaya. Kota yang berjuluk "Kota Pahlawan" ini mempunyai sejarah besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia melawan para penjajah. Banyak monumen dibangun untuk mengenang berbagai peristiwa dan perjuangan, serta banyak bangunan peninggalan masa kolonial yang masih terpelihara menjadi saksi perjuangan dan perkembangan Kota Surabaya.
lokasi Kota Surabaya
    Dengan prasarana transportasi dan infrastruktur yang cukup lengkap, untuk menuju Kota Surabaya dapat  mudah dijangkau dengan menggunakan transportasi darat, laut dan udara. Untuk kali ini saya menggunakan jasa Kereta api Cepu Expres. Dengan harga tiket Rp.35.000,-, perjalanan dari stasiun Cepu dapat ditempuh kurang dari 3 jam hingga tiba di stasiun Pasar Turi Surabaya. Kereta yang berangkat pukul 5:30 ini mempunyai 4 gerbong penumpang yang sudah dilengkapi pendingin udara pada masing-masing gerbong.
bersiap berangkat di Stasiun Cepu
pemeriksaan tiket oleh konmdektur

    Perjalanan dengan Cepu Expres ini tidak terasa membosankan. Rasa kantuk tertahankan oleh hamparan pemandangan yang menyejukkan mata pada pagi yang cerah ini. Mulai dari bentangan area persawahan yang masih hijau, kawasan tambak dan perkampungan penduduk, serta latar belakang gunung-gunung yang berjajar dari barat ke timur membuat saya tak ingin melewatkannya. Sinar matahari yang menembus kaca jendela sedikit mengurangi rasa dingin dalam gerbong kereta.
pemandangan persawahan di sepanjang perjalanan
bentangan persawahan saat matahari terbit

    Kereta api Cepu Expres hanya berhenti untuk menaikkan dan menurunkan penumpang di beberapa stasiun saja. Terhitung hanya 4 stasiun saja yaitu stasiun Bojonegoro, Babat, Lamongan dan stasiun Tandes. Hingga akhirnya tiba di stasiun Pasar Turi sekitar pukul 8:15. Stasiun Pasar Turi ini merupakan stasiun utama di Surabaya untuk perjalanan kereta api jalur utara. Setelah keluar dari stasiun Pasar Turi kemudian saya menuju Monumen Kapal Selam yang berada di tepi Kalimas.
Stasiun Lamongan
halaman depan Stasiun Pasar Turi

    Perjalanan saya tempuh dengan jalan kaki saja karena jaraknya yang hanya 3 km dan di perjalanan akan saya jumpai beberapa bangunan bersejarah. Saya pun mulai menyusuri Jl.Raden Saleh, Jl.Bubutan I, Jl.Gemblongan dan tembus ke Jl.Tunjungan yang lalu lintasnya terlihat lancar. Setelah melewati kawasan pertokoan, saya menjumpai bangunan Hotel Majapahit di Jl.Tunjungan. Dulu hotel ini bernama Hotel Oranje atau Hotel Yamato yang menjadi lokasi insiden perobekan bendera, September 1945. 
Jl.Gemblongan
Jl.Tunjungan

    Peristiwa ini berawal dari pengibaran bendera Belanda (merah-putih-biru) di atas Hotel Yamato yang memancing kemarahan pemuda Surabaya. Gagalnya perundingan antara pihak Indonesia dan Belanda untuk menurunkan bendera tersebut, membuat para pemuda yang berada di sekitar hotel memaksa masuk dan menurunkan bendera tersebut. Kemudian dirobeknya bagian warna biru dan dikibarkannya kembali bendera dengan warna merah putih yang disambut dengan sorakan "Merdeka" oleh massa di sekitar hotel.
peristiwa perobekan bendera Belanda dan pengibaran bendera merah putih
Hotel Oranje tahun 1911

   Bangunan asli hotel yang dibangun tahun 1910 ini masih bisa dilihat hingga kini, meski berada di dekat pusat perbelanjaan yang bergaya modern. Tepat di depan Hotel Majapahit terdapat Monumen Pers Perjuangan Surabaya. Monumen ini untuk mengenang didirikannya Kantor Berita Indonesia / ANTARA  1 September 1945 yang mengapdikan perjuangannya untuk kemerdekaan Republik Indonesia. Peranan wartawan  pada saat itu sangat penting dalam memberitakan  perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia ke luar negeri.
Hotel Majapahit sekarang (sumber gambar; wikipedia)
Monumen Pers Perjuangan Surabaya (suumber gambar; facebook)

    Selanjutnya saya menyusuri Jl.Gubernur Suryo dan menjumpai Gedung Negara Grahadi di sebelah utara jalan. Gedung yang dibangun tahun 1795 ini sekarang digunakan sebagai rumah dinas Gubernur Jawa Timur. Tepat di seberang gedung terdapat Taman Apsari dan Monumen Gubernur Suryo. Gubernur Suryo merupakan gubernur pertama Jawa Timur yang juga ikut memimpin perjuangan rakyat Surabaya menghadapi pasukan sekutu. Beliau meninggal dibunuh segerombolan PKI di Ngawi pada tahun 1948.
Gedung Negara Grahadi
Monumen Gubernur Suryo

    Selanjutnya saya menuju Jl.Pemuda dan di sisi ujung jalan inilah Monumen Kapal Selam berada (Monkasel). Monkasel sebenarnya adalah kapal selam KRI Pasoepati-410 Type SS Whiskey Class. Dibuat pada tahun 1952 di Uni Soviet dan mulai digunakan di Angkatan Laut pada tanggal 15 Desember 1962. Setelah terlibat dalam berbagai operasi di wilayah maritim Indonesia akhirnya kapal selam ini dijadikan monumen untuk mengenang perjuangan bangsa Indonesia dalam menjaga kedaulatan sebagai Negara Maritim mulai tahun 1995 dan diresmikan pada tahun 1998.
Monumen Kapal Selam
data kapal selam KRI Pasoepati-401

    Untuk memasuki area wisata Monkasel saya harus membayar tiket sebesar Rp10.000,-. Di sini saya dapat memasuki 7 ruang utama kapal selam yang meliputi ruang torpedo haluan, ruang komandan / perwira, ruang pengendali dan pusat informasi, ruang ABK, ruang mesin, ruang motor listrik / generator, serta ruang torpedo buritan yang terletak paling belakang (utara). Total ada 6 peluncur torpedo yaitu 4 di haluan dan 2 di buritan. Di ruang komandan terpasang foto-foto mantan komandan yang pernah menjadi komandan kapal selam, serta operasi-operasi yang pernah diikuti KRI Pasoepati-410.
peluncur torpedo di haluan kapal
tempat tidur perwira

    Selain obyek utama kapal selam, di lokasi wisata ini juga terdapat fasilitas lain seperti kolam renang anak dan panggung di sisi timur, serta kafetaria dan gedung video rama di sebelah utara. Di gedung video rama kita bisa melihat pemutaran film berdurasi sekitar 15 menit yang menceritakan perkembangan Angkatan Laut Indonesia serta sejarah KRI Pasoepati-410 itu sendiri. Letak Monkasel cukup strategis tepat di sebelah barat Kalimas dan dekat stasiun Gubeng yang merupakan stasiun utama di Surabaya untuk jalur timur dan selatan.
pemutaran film di gedung video rama
lokasi Monkasel dekat Kali Mas

    Tidak jauh dari Monkasel terdapat pusat perbelanjaan WTC dan Plaza Surabaya. Saya singgah sebentar di Plaza Surabaya untuk membeli kamera pocket dan makan siang warung PKL yang sekarang sudah ditertibkan di sebelah barat plaza. Selanjutnya saya menyusuri Jl.Panglima Soedirman, Jl.Urip Sumoharjo dan Jl.Raya Darmo untuk menuju Monumen Suro Ing Boyo. Kondisi jalan dan trotoar yang bersih serta rindangnya penghijauan sepanjang jalan, membuat saya betah menikmati perjalanan ini.
kondisi jalan dan trotoar yang bersih
trotoar yang teduh dengan rindangnya pepohonan

    Di tengah ramainya lalu lintas Jl.Panglima Soedirman, terdapat Monumen Bambu Runcing. Monumen yang dikelilingi taman kecil ini dibangun sebagai simbol semangat perjuangan rakyat Indonesia, yang mana bambu runcing menjadi senjata tradisional di tengah terbatasnya senjata modern yang di miliki tentara Indonesia. Di ujung Jl.Panglima Soedirman belokan ke Jl.Basuki Rahmat terdapat Patung Karapan Sapi. Patung ini menggambarkan 3 pasang sapi yang dipacu oleh para penunggangnya. Karapan Sapi sendiri merupakan perlombaan pacuan sapi di Madura dan menjadi even tahunan pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Monumen Bambu Runcing
Patung Karapan Sapi

    Di sudut antara Jl.Raya Darmo dengan Jl.Polisi Istimewa terdapat Monumen Perjuangan Polri. Monumen ini dibangun untuk mengenang diproklamirkannya Barisan Polisi Istimewa sebagai Polisi Republik Indonesia (Polri) pada tanggal 21 Agustus 1945 oleh Mochammad Jasin, Inspektur Polisi Tk I. Pada saat itu Pasukan Polisi Istimewa turut serta berjuang bersama rakyat dalam melawan penjajah dalam mempertahankan kemerdekaan. Tepat di seberang monumen terdapat Gedung Graha Wismilak. Gedung bergaya kolonial ini diperkirakan dibangun tahun 1920-an pernah difungsikan sebagai kantor polisi dan sekarang menjadi bangunan cagar budaya Surabaya.
Monumen Perjuangan Polri
Gedung Graha Wismilak

    Sekitar 1 km dari Monumen Perjuangan Polri dengan menyusuri Jl.Raya Darmo ke arah selatan, maka saya sampai di Taman Bungkul. Taman ini merupakan taman hijau yang namanya berasal dari nama tokoh penyebaran agama Islam di Surabaya dan sekitarnya, Sunan Bungkul yang makamnya terdapat di belakang taman ini. Di taman ini terdapat air mancur dan lokasi bermain anak-anak sehingga menjadi tempat menarik untuk warga Surabaya. Saya tidak lama di taman ini dan langsung menuju Masjid Al-Falah untuk sholat dzuhur dan istirahat sejenak di sana.
salah satu sudut Taman Bungkul
Jl.Raya Darmo

    Di sebelah barat Masjid Al-Falah dengan menyeberang Jl.Raya Darmo terdapat Perpustakaan Bank Indonesia yang mempunyai koleksi buku-buku tentang ekonomi dan perbankan. Gedung perpustakaan ini dulunya merupakan rumah pejabat De Javasche Bank dan pernah difungsikan sebagai Museum Mpu Tantular. Di depan perpustakaan, tepatnya sudut antara Jl.Raya Darmo dan Jl.Raya Diponegoro terdapat Monumen Bahari. Monumen ini menjadi identitas Kota Surabaya sebagai Kota Bahari dan sekaligus menggambarkan kekuatan dan kejayaan Angkatan Laut.
Perpustakaan Bank Indonesia
Monumen Bahari (sumber gambar; wikimedia)

    Jalan kaki 50 meter dari Monumen Bahari maka saya sampailah di Patung Suro Ing Boyo. Monumen ini berdiri di sebuah taman kecil di depan Kebun Binatang Surabaya. Monumen ini menggambarkan pertarungan antara ikan hiu (Suro) dan Buaya (Boyo) yang menjadi asal usul nama Kota Surabaya. Selain di sini juga ada monumen serupa yang berdiri di bundaran Jl.Tanjung Priuk dengan latar belakang jangkar. Saya tidak menyempatkan untuk berkunjung ke Kebun Binatang Surabaya karena sudah pernah 2 kali mengunjunginya dan langsung menuju arah Wonokromo.
Monumen Suro Boyo di depan Kebun Binatang
prasasti peresmian Taman Suro Ing Boyo

    Setelah melewati terminal Joyoboyo, saya tiba di sebuah jembatan. Di sebelah timur jembatan ini kita dapat melihat percabangan sungai antara Kali Mas dan Kali Jagir. Di Kali Jagir terdapat pintu air yang dibangun oleh Belanda, berfungsi untuk mengatur debit air Kali Mas dan sampai sekarang masih kokoh berdiri. Lokasi pintu air ini merupakan tempat bersauhnya pasukan Tartar yang akan menyerbu Kediri tahun 1293. Dari jembatan ini saya melanjutkan perjalanan dan berhenti di depan Pasar Wonokromo (Darmo Trade Centre). Saya menelfon teman saya, Ekak Novianto dan dia akan menjemput saya dengan motor.
pintu air Kali Mas (kiri)  dan pintu air Kali Jagir (putih)
pintu air Jagir (sumber gambar; panoramio)

    Sekitar 15 menit menunggu, akhirnya Ekak datang menjemput. Ekak mengajak saya ke sebuah bengkel milik temannya yang berada tak jauh dari terminal Bungurasih. Untuk menuju ke sana kami harus melewati Jl.Ahmad Yani yang cukup padat karena bertepatan dengan jam pulang kerja. Pukul 16:00 kami tiba di bengkel yang dapat membuat konstruksi bagian-bagian kapal. Saya habiskan sore hari untuk istirahat dan melihat-lihat di dalam bengkel. Ekak yang merupakan seorang Welding Enginer melatih teman-temannya belajar mengelas di bengkel tersebut.
melewati jalanan macet
bengkel konstruksi kapal

    Seusai magribh dan makan malam, Ekak mengejak saya keliling Kota Surabaya dan menuju Panjai Ria Kenjeran (Kenjeran Park) yang letaknya di sebelah timur laut kota. Untuk memasuki lokasi ini kami membayar Rp.8.000,-. Selain deretan penjual makanan di pinggir pantai di sini kita akan menjumpai Klenteng Sanggar Agung yang gerbangnya seperti gapura di Bali. Di depan klenteng terdapat Patung Budha Catur Muka (empat muka) yang berwarna emas duduk di bawah sebuah stupa. Kami tidak memasuki kedua lokasi yang digunakan untuk tempat beribadah ini karena ditutup pada malam hari. 
gerbang Kenjeran Park
Budha Catur Muka

    Di bagian selatan Kenjeran Park terdapat Pagoda Tian Ti (Dome of Sky World). Namun karena tidak adanya penerangan lampu, bangunan tersebut hanya terlihat samar. Akhirnya kami memutuskan pulang ke rumah kontrakan Ekak di daerah Medokan Semampir untuk istirahat.

BERSAMBUNG....
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar