Minggu, 21 Desember 2014
Hari ini kami berencana untuk melanjutkan perjalanan ke Tawangmangu dan untuk selanjutnya pulang ke Cepu melalui Magetan. Jika memungkinkan kami juga akan singgah ke Telaga Sarangan. Karena Ook turut serta untuk bersama pulang ke Cepu, maka kami berangkat agak siang sekitar pukul 9:30. Kami habiskan waktu pagi itu dengan berbincang bersama keluarga Ook sambil minum kopi di teras rumah dan tak terasa waktu cepat berlalu. Seusai mandi dan sarapan, kami mempersiapkan dan memeriksa barang bawaan kami agar tidak ada yang tertinggal.
rute hari kedua
bersiap berangkat dari rumah Ook
Pukul 9:30 kami berpamitan dan berterima kasih kepada orang tua Ook karena telah menyediakan tempat istirahat untuk kami. Baru sebentar berkendara kami sempatkan untuk singgah di SPBU untuk mengisi bahan bakar dan minimarket untuk membeli minuman ringan. Ook memberi tahu bahwa ada tiga jalur menuju Tawangmangu, yaitu jalur utama Karanganyar - Tawangmangu, jalur Karanganyar - Matesih - Tawangmangu dan jalur alternatif Matesih. Dan Ook mengejak kami untuk melalui jalur alternatif karena jalur ini tidak dilalui angkutan umum.
ikut mengantri di SPBU
jalur alternatif Matesih
Benar saja melalui jalur ini, hanya motor dan mobil pribadi saja yang kami jumpai di sini. Jalan yang relatif menanjak di antara pemukiman penduduk, area persawahan dan perbukitan sesekali kami jumpai di perjalanan. Sekitar pukul 10:10 kami tiba di jalan utama Matesih. Matesih merupakan salahsatu kecamatan di Kabupaten Karanganyar, di mana Astana Giribangun (makam keluarga mantan presiden kedua) berada. Dari Matesih kami berbelok ke jalan utama Matesih - Tawangmangu. Jalan pun terus menanjak dan sesekali melewati tikungan-tikungan pendek.
jalan utama Matesih
jalan yang terus menanjak
Perjalanan ini tidak terasa membosankan karena adanya pemandangan indah yang telah tersaji dan udara sejuk pegunungan. Setelah sekitar 25 km kami berkendara akhirnya kami tiba di Tawangmangu pada pukul 10:30. Di Tawangmangu kami singgah di taman wisata Grojogan Sewu. Untuk memasuki taman wisata ini kami harus membayar tiket Rp13.500,- per orang. Kami harus waspada terhadap barang-barang yang kami bawa karena banyaknya monyet berkeliaran di area wisata ini. Jika lengah, monyet-monyet ini akan merebut barang bawaan kita dan membawanya lari. Para petugas taman pun berusaha menghalau monyet yang mendekati pengunjung.
perjalanan yang tidak membosankan
denah taman wisata
Di area taman wisata ini terdapat mini water boom, kolam renang dan tentunya air terjun Grojogan Sewu. Untuk menuju air terjun ini kami harus menuruni anak tangga yang dibuat berbelok-belok di tebing. Sesampainya di bawah kami menjumpai sungai kecil berbatu yang berhulu pada sebuah air terjun setinggi 80 meter. Karena akhir-akhir ini sering terjadi hujan, maka debit air terjunnya cukup besar. Banyak pengunjung yang mendekat kuntuk menikmati percikan dari air terjun. Kami hanya menikmati pemandangan ini dari kejauhan saja karena udara yang lumayan dingin.
menuruni anak tangga
air terjun Grojogan Sewu
Kami kemudian singgah di sebuah pondok pinggir sungai, yang menjual sate kelinci. Sate Kelinci merupakan menu khas di sini, per porsinya hanya seharga Rp12.000,- saja. Belum lama kami masuk pondok, hujan pun turun mengguyur taman wisata ini. Hampir setengah jam kami di pondok ini menunggu hujan reda sambil meluruskan badan. Saat hujan mulai mereda kami pun bersiap untuk kembali meniti anak tangga ke atas. Jalan menuju ke atas dibuat terpisah dengan jalan turun.
merasakan dinginnya air sungai
berteduh dari guyuran hujan
Untuk naik ke atas kami harus lebih berhati-hati karena tangga yang licin akibat gerimis yang masih mengguyur. Banyaknya pengunjung membuat kami harus bersabar meniti tiap anak tangga. Total turun dan naik adalah 1250 anak tangga seperti tertulis pada papan jalan keluar. Di bagian luar taman wisata ini terdapat banyak kios yang menjual berbagai macam souvenir dan juga terdapat juga penyewaan kuda. Sekitar pukul 12:10, kami melanjutkan perjalanan ke Cemoro Sewu.
gerimis masih mengguyur saat kembali ke atas
barisan kuda yang disewakan
Jalan semakin menanjak, namun hujan tak juga reda. Kami dengan perlahan terus mendaki tanjakan tersebut dan udara terasa begitu dingin. Di satu sisi jalan terbentang perkebunan sayuran dan dari kejauhan terlihat beberapa lereng bukit yang longsor. Sesekali kami melewati jalan yang di selimuti kabut putih. Tak sampai 30 menit kami tiba di Cemoro Kandang yang berjarak sekitar 10 km dari Tawangmangu. Kami singgah di sebuah pondok pinggir jalan untuk sejenak menghangatkan badan dengan semangkuk mie dan segelas susu.
jalan menanjak
kabut menyelimuti jalan
Cemoro Kandang merupakan gerbang pendakian ke Hargo Dumilah, puncak Gunung Lawu yang berada di sisi Jawa Tengah, sedangkan Cemoro Sewu berada di Kabupaten Magetan Jawa Timur. Keduanya hanya terpisah sekitar 200 meter. Setelah makan kami menuju ke Masjid Annur di Cemoro Sewu untuk sholat di sana. Air keran terasa seperti air freezer yang membuat saya semakin menggigil. Di halaman masjid ini terlihat para pendaki yang sedang beristirahat. Di akhir tahun biasanya banyak orang yang melakukan pendakian ke puncak Lawu.
Cemoro Sewu dilihat dari Cemoro Kandang
pondok berjajar di Cemoro Kandang
Seusai sholat, tak sengaja saya berjumpa dengan Ilham dari Sobbisco (Solo Black Bikes Community) Karanganyar. Saya mengenalnya pada akhir Desember 2012 dan telah mengantar saya dari Karanganyar sampai Sarangan, Magetan. Kebetulan dia sedang mengantar adiknya mendaki Gunung Lawu dan saya bertanya tentang jalur pendakian di sana. Saya dan Azizi memang mempunyai keinginan untuk mendaki Gunung Lawu suatu saat jika ada waktu luang dan cuaca bersahabat.
berjumpa Ilham di depan masjid
rute pendakian ke puncak Gunung Lawu
Pukul 14:05 kami melanjutkan perjalanan menuju Telaga Sarangan yang hanya berjarak 8 km. Rintik gerimis dan kabut tipis menyelimuti jalan relatif turunan. Pohon cemara dan tebing batu menghiasi setiap sisi jalan. Kami berbelok mengikuti papan petunjuk turun ke Telaga Sarangan sekitar 1 km dari jalan utama. Saya yang berboncengan dengan Azizi membayar biaya masuk sebesar Rp.20.000,-, sudah termasuk biaya masuk motor dan asuransi. Sementara Ook tidak perlu membayar, mungkin karena motor yang digunakan berplat nomor AD dianggap sebagai warga setempat.
jalan turunan menuju Sarangan
penginapan berjajar di sepanjang jalan masuk ke Sarangan
Telaga sarangan merupakan sebuah danau kecil di kaki Gunung Lawu yang masuk wilayah Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan. Di sini pengunjung dapat mengelilingi telaga dengan kuda ataupun menjelajah telaga dengan perahu motor dan becak air yang disewakan. Hampir sama dengan di Tawangmangu, makanan khas yang dijajakan disini adalah sate kelinci. Di dekat jalan masuk banyak tersebar wisma dan hotel, serta kios-kios yang menjual souvenir dan makanan ringan yang bisa dijadikan oleh-oleh.
kuda-kuda yang disewakan di Sarangan
seberang jalan masuk
Kami langsung menuju pintu air telaga untuk sejenak menikmati suasana dinginnya udara, karena lokasinya yang berseberangan dengan jalan masuk dan tidak terlalu banyak pengunjung di sana. 20 menit saja kami di sana dan kami melanjutkan perjalanan. 2 km saja dari Telaga Sarangan kami berhenti di pinggir jalan, di mana dari lokasi ini kami dapat melihat hamparan wilayah Kabupaten Magetan dan Telaga Wahyu yang berada di bawah. Telaga Wahyu tak sebesar Telaga Sarangan. Dari kejauhan terlihat banyak pemancing di sekitar telaga ini, juga terlihat pengunjung yang menjelajah telaga dengan becak air.
menikmati suasanan di Telaga Sarangan
Telaga Wahyu ada di bawah sana
Setelah menikmati sebungkus pentol (baso) kamu kembali berkendara di turunan curam menuju kota Magetan. Terlihat kebun strawberry dan sayuran di kanan kiri jalan. Kami tidak ada berhenti di kota Magetan dan terus berlanjut ke Maospati hingga Ngawi. Jalan yang relatif lurus dan turunan landai membuat kami terus memacu kendaraan. Kami hanya berhenti sebentar di SPBU setelah melewati pusat kota Ngawi. Mengingat awan hitam mulai terlihat dan hari semakin senjaer, kami tidak banyak membuang waktu untuk beristirahat.
memasuki kota Magetan
jalan lurus dari Maospati hingga Ngawi
Kami mulai melihat jalanan berliku dengan tanjakan dan turunan ketika memasuki perbatasan Kabupaten Ngawi dan Bojonegoro. Kawasan ini berada di punggung Pegunungan Kendeng yang melintang di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pohon jati yang masih muda mendominasi kawasan pegunungan ini. Terlihat daun-daunnya yang baru bersemi setelah beberapa bulan yang lalu kering saat musim kemarau. Hanya di Watujago saja yang terlihat rimbun dengan pohon mahoninya. Jalanan mulai landai dan lebar saat memasuki Kecamatan Ngraho, Bojonegoro.
jalan berliku di pegunungan Kendeng
jalan menanjak di antara hutan jati
Rintik gerimis memaksa kami untuk menepi dan menggunakan jas hujan. Benar saja selesai mengenakan mantel, hujan pun semakin deras. Kami terus melanjutkan perjalanan di tengah guyuran hujan, mengingat tinggal 20 km saja menuju Kota Cepu. Meski jalan lurus dan landai, tetapi kami tidak bisa laju karena terpaan hujan yang disertai angin. Hujan mulai reda saat kami memasuki Kecamatan Padangan. Kami singgah di sebuah warung yang menjual lontong tahu, warung yang biasa kami kunjungi saat bermain futsal. Lontong tahu merupakan makanan khas di Cepu dan sekitarnya, terdiri dari potongan lontong, sayuran yang tidak direbus dan tahu goreng yang disiram dengan kuah kacang.
hujan mengguyur sisa 20 km perjalanan
lontong tahu
Kami tiba di Cepu dan memasuki asrama pukul 18:00. Kami langsung membereskan semua barang bawaan, istirahat dan bersiap untuk kuliah esok hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar