Minggu, 08 Maret 2015

Perjalanan Ke Masa Prasejarah "Museum Trinil"

Minggu / 8 Maret 2015
    Setelah beberapa bulan yang lalu berkunjung ke Museum Sangiran di Sragen dan Museum Mahameru di Blora, kini muncul keinginan untuk berkunjung ke Museum Trinil yang juga menyimpan fosil sisa kehidupan purbakala. Mungkin masih ingat mata pelajaran Sejarah di SMP yang juga mempelajari tentang jaman prasejarah dan penemuan fosil manusia purba di Trinil. Museum Trinil sendiri berada di Dusun Pilang Ds.Kawu Kec.Kedungdalar dan sekitar 15 km dari pusat kota Ngawi, Jawa Timur.

rute perjalanan

    Dengan menggunakan sepeda motor saya berangkat menuju Trinil yang berjarak sekitar 60 km dari kota Cepu pada pukul 13:10. Lalu lintas jalur Cepu - Ngawi yang biasa saya lewati ini tidak begitu padat siang ini, mungkin karena kondisi jalan yang masih basah setelah guyuran hujan ringan. Kondisi jalan 20 km pertama yang lurus dan lebar membuat saya dapat melaju dengan kecepatan maksimal hingga kecamatan Ngraho. Selepas itu barulah menjumpai jalan berliku naik turun di kawasan hutan Watu Jago Margomulyo hingga memasuki wilayah Kabupaten Ngawi.
jalan lintas Cepu - Ngawi
hutan di Kecamatan Margomulyo

    Sekitar pukul 14:10 saya tiba di pusat Kota Ngawi. Dari pusat Kota Ngawi saya berbelok menyusuri jalan ke arah Solo. Tak sampai 15 menit saya menyusuri jalan tersebut hingga menjumpai papan petunjuk ke Museum Trinil dan sepasang gapura di sisi utara jalan. Dari gapura tersebut saya kembali menyusuri jalan aspal sejauh 3 km sambil menikmati pemandangan area persawahan di setiap sisi jalan. Tidak begitu sulit untuk menuju Museum karena di setiap persimpangan di pasang papan petunjuk arah.
memasuki pusat kota Ngawi
gapura jalan menuju museum


    Sesampainya di depan museum, saya berhenti dan masuk pos jaga untuk melapor dan mengisi buku tamu. Dengan membayar Rp3.000,- saya dapat memasuki area Museum Trinil. Patung gajah purba yang berada di sisi kanan gapura masuk seakan menyambut kedatangan para pengunjung museum. Selain bangunan museum itu sendiri, di sini juga terdapat bangunan lain seperti pendopo, kantor / guest house serta laboratorium yang berada di belakang museum. Saya pun langsung menuju bangunan utama museum yang pintunya berbentuk gading gajah.
tiba di depan museum
patung gajah purba yang berada di area taman

     Di dalam bangunan yang diresmikan pada tahun 1991 ini terdapat beberapa etalasi kayu yang menyimpan dan memamerkan fosil-fosil yang ditemukan di kawasan Trinil. Beberapa fosil yang disimpan di museum ini merupakan duplikat, karena dalam tiga tahap penelitian dilaksanakan hasil temuannya disimpan diluar Trinil yaitu di Belanda (1889-1909), Frankfurt Jerman (1931-1941) dan Museum Paleoantropology UGM Yogyakarta. Selain fosil manusia purba di Museum Trinil juga fosil-fosil asli hewan purba seperti gajah purba, rusa, kerang, banteng, macan dan kerbau purba. Kebanyakan fosil-fosil ini ditemukan di tepian Sungai Bengawan Solo.
pintu gedung museum
sejumlah fosil yang disimpan di dalam museum

    Saat saya sedang asyik melihat-lihat dalam museum, datang pak Jono menghampiri saya yang merupakan seorang petugas museum. Beliau menceritakan sejarah pendirian museum ini dan menjelaskan apa saja yang ada di dalam museum tersebut. Beliau menceritakan bahwa kakeknya, mbah Wirodiharjo (Wirobalung) ikut berjasa dalam pelestarian fosil-fosil yang ditemukan di tepian sungai. Dulu rumah mbah Wiro digunakan sebagai tempat penyimpanan fosil dan bekas lokasi rumah beliau sekarang terdapat tugu petunjuk arah lokasi penemuan fosil Pithecanyropus erectus oleh Eugene Dubois.
sejarah Museum Trinil
dulunya lokasi ini merupakan rumah mbah Wirobalung

    Dari tugu berwarna putih tersebut menunjuk lokasi penemuan ke arah timur laut dengan jarak 175 meter. Lebih lanjut pak Jono menceritakan bahwa nama trinil mempunyai arti sebuah kawasan yang meliputi 3 desa yaitu desa Kawu, Gemarang dan Ngancar, serta berada di aliran Sungai Bengawan Solo. Kawasan tersebut banyak ditemukan fosil dan menjadi obyek penelitian Eugene Dubois. Nama Trinil sudah dikenal dunia sejak tahun 1891 dari hasil penemuan fosil manusia purba Phitecantropus erectus dan fosil berbagai binatang purba di endapan sungai purba.
175 meter dari tugu ini lokasi penemuan fosil Phitecantropus erectus
fosil tanduk kerbau purba yang ditemukan di desa Gemarang

    Menurut keterangan yang saya dapatkan di museum Pithecantropus erectus mempunyai arti manusia kera berdiri tegak. Berdasarkan temuan tengkoraknya diperkirakan Pithecantropus erectus mempunyai volume otak sekitar 900 cc yang terletak di antara volume otak kera (600 cc) dan otak manusia modern (1200-1400cc). Tengkorak ini sangat kecil tapi milik mahkluk yang secara penuh mesuk dalam genus Homo (manusia) kemusian diklasifikasikan sebagai bagian dari Homo erectus (manusia yang telah berjalan tegak). Nama Phitecantropus erectus oleh Eugene Dubois mesih tetap dipertahankan sejauh dalam konteks sejarah dan geografis.
banner yang mendiskripsikan Pithecantropus erectus
patung replika Phitecantropus erectus

    Hampir satu jam saya berkeliling di kawasan museum tersebut. Setelah sholat ashar saya menyempatkan sejenak untuk mengunjungi Monumen Suryo mengingat waktu belum terlalu sore. Monumen yang diresmikan tahun 1975 tersebut berjarak sekitar 12 km arah barat dari Museum Trinil dan berada di sisi selatan jalan raya Ngawi - Solo. Lokasinya yang berada di jalur utama menjadikannya tempat idola bagi para pengguna jalan untuk mampir beristirahat di area taman monumen tersebut. Rindang dan asrinya pepohonan membuat nyaman para pengunjung yang singgah di monumen tersebut.
area taman dikelilingi pepohonan yang rindang
Monumen Suryo

    Monumen ini dibangun untuk mengenang gugurnya Gubernur Suryo yang merupakan gubernur pertama Jawa Timur. Menurut sejarah Gubernur Suryo dan 2 perwira polisi dihadang dan dibunuh oleh pasukan pemberontak Partai Komunis pada 10 September 1948 di dalam hutan Kedungdalar Ngawi. Namun baru keesokan harinya jasadnya ditemukan oleh seorang pencari kayu bakar. Gubernur Suryo mempunyai banyak jasa dalam memimpin perjuangan rakyat Surabaya dalam menghadapi pasukan sekutu.
 dua perwira polisi ikut menjadi korban tragedi penculikan
terdapat relief pada empat sisi monumen

    Setelah puas menikmati suasana di area Monumen Suryo, saya pun memutuskan untuk pulang ke Cepu. Dengan menggunakan panduan google map saya mencoba untuk melewati jalur lain yang jarak tempuhnya lebih pendek dan tanpa melewati pusat kota Ngawi. Berdasarkan panduan di google map, jalur ini melewati kawasan hutan jati Pegunungan Kendeng. Saya mengira kondisi jalan di jalur ini bagus, tapi ternyata kondisinya rusak parah setelah menyeberangi jembatan Bengawan Solo sekitar 4 km dari Monumen Suryo.
jembatan Bengawan Solo
kondisi jalan aspal yang rusak

    Aspal yang sudah rusak dan banyaknya lubang memaksa saya untuk mengendarai motor dengan pelan. Terkadang harus turun ke sisi jalan tanah yang kondisinya lebih halus. Jarang sekali kendaraan yang saya jumpai di jalur ini. Hanya sesekali saya berpapasan dengan pengendara motor yang merupakan penduduk setempat dan truk pengangkut hasil ladang jagung. Sesekali saya juga harus melihat google map untuk memastikan jalan yang saya lewati benar karena banyaknya persimpangan. Terkadang juga hanya mengandalkan papan petunjuk arah karena kurangnya jangkauan sinyal seluler di tengah hutan.
jalan tanah yang kondisinya lebih bagus
pick-up pengangkut jagung mogok di tengah jalan

    Sekitar 20 km saya menyusuri jalan rusak di tengah hutan. Barulah saya menjumpai jalan yang kondisinya lebih bagus saat memasuki wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Randublatung dan saya dapat menambah laju motor hingga tiba di pusat kecamatan Randublatung pada pukul 17.15. Saya pun langsung melanjutkan sisa 25 km menuju Cepu dan tiba 17.50.
sekitar 20 km melintasi jalan rusak
jalan mulus di kawasan KPH Randublatung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar